Persiapan Menjelang Operasi Endometriosis...(bag 1)
Tengah malam saya terbangun karena rasa sakit yang mendera di perut kanan bawah dan hanya disatu titik saja. Nih...endometriosis lagi kambuh, pikir saya. Tapi karena saya termasuk tipe orang yang tidak gampang minum obat (karena malas & khawatir dengan mitos2 kebal/ketergantungan obat) maka saya biasa menahan rasa sakit dengan membiarkannya begitu saja(menurut seorang teman, menahan sakit yang berlebihan untuk menghindari minum obat anti sakit justru dapat menyebabkan ambang stress meningkat & itu menambah rasa sakitnya, seandainya saja saya tahu lebih awal...?!).
Sebetulnya rasa nyeri ini sudah muncul sejak jam: 22.00, saat saya di mobil dalam perjalanan pulang Bojonegoro-Surabaya. Karena nyerinya tidak hilang-hilang dan menunjukkan semakin bertambah, saya putuskan minum obat pereda nyeri, pilhannya ponstan 500 mg. Biasanya setelah minum obat setengah jam nyerinya langsung hilang. Tapi ini ditunggu-tunggu koq gak hilang, baru jam: 07.00 nyerinya mulai berkurang. Saya melakukan aktivitas seperti biasa sampai jam: 11.00 nyerinya timbul lagi dan bertambah hebat. Akhirnya berdasar saran teman yang seorang dokter kandungan, saya minum profenit 500 mg oral. Ditunggu... tidak mempan, masih sakit. Adik saya menyarankan profenit anal 500 mg. Satu jam...Dua jam...Tiga jam...akhirnya lima jam kemudian rasa nyeri baru hilang sama sekali.
Begitu suami datang dari luar kota (kebetulan tugas suami di bojonegoro) saya langsung periksa darah, dugaan mengarah ke apendik (usus buntu).
Besoknya setelah konsul dengan temannya, suami membawa saya untuk CTScan & MRI. Hasilnya: Apendiks saya baik-baik saja sementara Endometriosis saya menjalar kemana-mana, diantaranya ke ureter sehingga terjadi pembesaran ginjal (hydronephrosis). Rasa sakit itu disebabkan karena endo membuntu saluran ureter sehingga ginjal saya membesar yang sebelah kanan. Mendengar kata hydronephrosis saya masih tidak gentar karena saya sudah dua kali pasang stent. Saya pikir pasang stent lagi ya gpp. Mending daripada apendiks harus MRS di RS itu lebih mengkhawatirkan. Apalagi menjelang tahun baru, sangat menyedihkan mendekam di rumahsakit. Ternyata terbukti dikemudian hari pengharapan saya salah besar...!
Kami konsultasi ke dua dokter, dokter kandungan dan dokter urologi. Keduanya menyarankan operasi, tidak ada jalan lain. Dan sifat operasinya Urgent...!
Begitu mendengar kata operasi, perasaan saya plain (seperti rasa yogurt). Biasa saja gitu, malah saya minta ke dokternya bagaimana kalau operasinya dilaksanakan besok. Tentu saja tidak mungkin karena meski operasi ini urgent, namanya operasi ini membutuhkan persiapan seperti puasa, hasil lab, lavement n foto rontgen.
Saya gampang sekali tersugesti dan suami hapal betul “kelebihan” saya itu.... Karenanya suami selalu memasang raut muka plain setiap kali dokter memberi penjelasan detil tentang operasi yang akan dilaksanakan nanti. Tapi karena raut muka plain itulah saya berani meminta operasi dipercepat.
Singkat cerita, saya mulai mrs dihari senin malam, sementara operasi dilakukan jam: 08.00 hari rabu. Dokter meminta saya mempersiapkan diri untuk urus-urus. Berdasar pengalaman operasi sebelumnya, saya punya tips khusus untuk ini. Sewaktu baru pertamakali dilavement (membersihkan usus) saya kesakitan setengahmati. Bahkan saya bisa bilang, sakitnya luka operasi masih kalah dibanding sakitnya lavement.
Tips persiapan lavement:
Ø Jangan stress.Biasanya karena akan operasi, maka kita terburu-buru mau menyelesaikan pekerjaan yang bakal terbengkelai akibatnya melemahkan psikis maupun fisik.
Ø Dua atau tiga hari sebelumnya kalau bisa sudah mulai makan nasi lembek atau bubur.
Ø Sebaiknya hindari makanan dengan aroma atau rasa yang tajam.
Ø Berdoa,bacaan yang selalu saya lafalkan adalah bergantian antara: shalawat nabi dan laillahaillah anta subhannaka ini quntum minaddholimin.
Menjelang lavement, masalah lain menghadang: saya bermasalah dengan makanan rumah sakit. Sarapan buburnya masih bisa saya makan meski cuman tiga sendok, menjelang makan siang saya dapat bubur cair...Ampunnnn....begini bentuknya. Yang ini cuman bisa dimakan sesendok saja kemudian saya tutup lagi plastiknya.
Bandingkan dengan ini: (makanan penjaga px)
Kekhawatiran lavement nanti akan sakit jika saya tidak patuh memakan makanan rumah sakit, saya memutar otak bagaimana menghabiskan bubur cair ini...? Putri sulung saya mengusulkan dicampur yogurt, dia tahu saya rutin minum yogurt. Setelah konsul dokter, katanya gpp. Akhirnya saya minta dibelikan yogurt jco tanpa toping. Jadilah saya makan bubur cair dicampur yogurt jco. Inilah hasilnya:
Alhamdulillah, bubur cair itu hanya tersisa 1/3nya saja dan masalah urus-urus sampai lavement bisa saya lalui dengan lancar (tanpa rasa sakit).
Menjelang operasi besok, bergantian dokter yang akan mengoperasi saya datang berkunjung. Ada empat dokter. Oh My God...!!! Seberapa besar operasi saya...?
Sebelumnya saya sudah tahu kalau operasi ini akan melibatkan empat dokter. Ahli kandungan, ahli bedah urologi, ahli anestesi dan ahli bedah digestif. Suami dengan raut wajah plainnya menerangkan seolah-olah itu biasa saja, tidak perlu dikhawatirkan. Dia juga berusaha menyakinkan saya bahwa endometriosis meski menyebar tapi tidak mematikan.
Penjelasan ini berhasil menenangkan saya untuk sementara karena sebetulnya ketakutan saya lebih kearah seberapa parah penyakit saya menimbulkan potensi kerusakan pada organ tubuh saya yang lain, bukan pada pelaksanaan operasi. Tapi setelah bertemu dengan empat dokter itu cukup membuat nyali saya ciut.
Tips persiapan operasi:
Ø Fisik: rajin berolahraga, tidak saja menjelang operasi tapi sehari-hari hendaknya kita menerapkan gaya hidup sehat dengan rajin berolahraga dan makan makanan sehat (usia 40 tahun keatas, ada beberapa jenis makanan yang sudah harus dipantang seperti, coklat, daging, minuman bersoda de el-el) plus vitamin untuk menjaga stamina.
Ø Psikis: hindari stress...!!! meski tidak bisa dipungkiri operasi menimbulkan kekhawatiran atau ketakutan tapi sebaiknya kita bisa mengurangi porsi stress
dengan cara kita sendiri. Malam itu saya minta ditemani suami sampai saat-saat menjelang operasi. Sebelumnya ibu menawarkan diri untuk menjaga saya, tapi
saya tahu, ayah yang sakit lebih memerlukan ibu dibanding saya. Juga saya sangat tahu, ibu saya tipe orangnya panik dan histeris. Bisa-bisa semalaman, ibu menangis terus menunggui saya (pada ibu saya mengatakan operasi ini hanya operasi kecil seperti operasi caesar saja) Kedua anak saya juga menawarkan diri untuk menemani dirumah sakit tapi saya tolak karena saya tidak bisa menyembunyikan rasa khawatir didepan anak-anak. Saya justru mengkhawatirkan mereka nantinya.
Ø Menurut saya sebaiknya pasanganlah yang menemani kita menjelang operasi. Bagaimanapun dengan anak dan orangtua ada tabir yang membuat kita tidak bisa mengungkapkan perasaan secara leluasa tapi dengan pasangan semua perasaan dapat kita sampaikan dengan gamblang. Bila karena sesuatu hal, pasangan tidak bisa menemani maka yang paling tepat adalah ibu. Baru option terakhir adalah anak (kecuali jika mereka sudah dewasa).
Ø Banyak-banyak berdoa. Baru saya sadari bahwa diusia saya yang sudah kepala empat ini, saya masih sangat-sangat memerlukan sosok ibu. Selain kasih sayangnya, kita memerlukan orangtua karena doa-doanya yang tidak berhijab. Hampir tiap jam, ibu menelpon dan mengatakan selalu mendoakan saya. Begitu pula dengan ibu mertua saya. Mendengar itu, hati saya jadi plain kembali. Segala kekhawatiran dan ketakutan berganti dengan perasaan pasrah. Bahkan saya sempat menolak diberi obat penenang karena ingin menghabiskan malam lebih lama dengan suami. Finally saya meminum obat tenang, berharap segera tidur dan bersiap operasi dan setelah itu selesai. Ternyata.... !
Saat saya membuka mata sehabis operasi pada operasi-operasi sebelumnya, biasanya yang terlihat didepan saya wajah suami, ayah dan ibu. Entah pikiran darimana, pada operasi kali ini tiba-tiba ketakutan saya menyeruak, bagaimana nanti bila saya membuka mata ternyata yang terlihat bukan wajah-wajah orang yang saya kenal tapi hamparan putih sejauh mata memandang. Artinya saya berada dialam lain, bukan didunia lagi. Resiko operasi seperti emboli, komplikasi de el-el yang biasanya diterangkan suami pada pasien-pasiennya sebelum operasi sekarang seakan-akan menghantui saya. Karena itu saya sempat menangis ditengah meja operasi...Dalam sepersekian detik sebelum obat bius bekerja, saya merasakan suami menggenggam tangan saya seolah mengatakan semua akan baik-baik saja.
“Sus jam berapa ini?” Tanya saya pada perawat.
“Jam sebelas” jawab perawat yang sedang memeriksa kondisi saya.
“Saya sudah selesai operasi ya?” tanya saya lagi.
“Ibu operasinya kemarin...” suami turut menimpali bahwa saya tertidur sehari.
Subhanallah...Saya mengucap syukur berkali-kali, bukan hamparan putih itu yang saya lihat sekarang.
Dari suami saya tahu, operasi saya berlangsung sembilan jam (mulai jam: 08.00-17.00). Dua jam setelah operasi saya sadar, minta shalat dan sudah dapat melakukan percakapan meski putus nyambung-putus nyambung. Baru keesokan harinya kesadaran saya sepenuhnya pulih.
Hasil operasi ternyata lebih baik sedikit dari perkiraan sehingga tidak diperlukan tindakan dari ahli bedah digestif. Saya syukuri hal ini. Setelah operasi, kondisi saya secara keseluruhan stabil. Saya juga tidak merasa kesakitan. Hanya saja besarnya operasi dapat dilihat dari lamanya MRS dirumah sakit (tujuh hari dan masih dilanjutkan perawatan dirumah, pemakaian kateter dilanjutkan sampai tujuh hari kemudian). Keluhan terbesar saya hanyalah maag karena pengaruh obat-obatan yang saya minum dan keterbatasan gerak karena pemakian kateter.
Hasil operasi ternyata lebih baik sedikit dari perkiraan sehingga tidak diperlukan tindakan dari ahli bedah digestif. Saya syukuri hal ini. Setelah operasi, kondisi saya secara keseluruhan stabil. Saya juga tidak merasa kesakitan. Hanya saja besarnya operasi dapat dilihat dari lamanya MRS dirumah sakit (tujuh hari dan masih dilanjutkan perawatan dirumah, pemakaian kateter dilanjutkan sampai tujuh hari kemudian). Keluhan terbesar saya hanyalah maag karena pengaruh obat-obatan yang saya minum dan keterbatasan gerak karena pemakian kateter.
Memakai kateter adalah sesuatu. Sepertinya saya tidak punya tips khusus untuk menghilangkan ketidaknyamanannya. Kalau hanya sekedar mengurangi, dokter menyarankan untuk minum tidak kurang dari 3 liter perhari. Saya mencobanya dan cukup berhasil. Tanpa kateter saya agak kesulitan menghabiskan porsi 3 liter air/hari tapi dengan kateter saya bisa, toh tidak perlu bolak-balik kekamar mandi. Pemakaian kateter juga rawan infeksi (kadang ada yang sampai demam) Selain harus selalu menjaga kebersihannya juga usahakan supaya plester (hepafix) tetap melekat di paha. Jangan dirubah posisinya. Bila plester lepas segera pasang kembali. Karena bila lepas dibiarkan akan menimbulkan tekanan saat berjalan sehingga timbul rasa sakit.